Sabtu, 31 Desember 2011

City of Thieves (Kota Para Pencuri)City of Thieves by David Benioff
My rating: 5 of 5 stars

1st - 2012

Buku pertama di awal tahun.

Siapa sangka misi mencari selusin telur di tengah kecamuk Perang Dunia II di Leningrad bisa menjadi kisah yang memikat?

*langsung bikin telur mata sapi untuk sarapan, dan mensyukuri nikmat-Nya*

View all my reviews

Minggu, 18 Desember 2011

The Dangerous Days of Daniel XThe Dangerous Days of Daniel X by James Patterson
My rating: 3 of 5 stars

1308th - 2011

Just ceban at FPI 2011.

Reading this novel is just like seeing tokusatsu or superhero cartoon, with a teenage Alien Hunter aka Protector of Universe (like Space Police Gavan, probably, or a Green Lantern, maybe) who has the power to create with his power of imagination (umm... here a Green Lantern point).

It's not an original plot, but a fun reading. Fast-paced, with an anticlimax and a rather disappointing ending. Duh!

Musuhnya gampang amat dikalahinnya! The Power to Create vs The Power to Destroy harusnya lebih seru ah! >.
View all my reviews

Jumat, 16 Desember 2011

Panggil Aku...

Ms. B: Ms. B: "Panggil Aku B" by Fira Basuki
My rating: 3 of 5 stars

1301st - 2011

Di kalangan keluarga, semua orang memanggilku Tris. Karena anak paling bontot, panggilannya jadi De Tris. Dus, saking nempelnya panggilan itu, malah dianggap begitulah namaku, sehingga ada yang memanggilku Kak Detris, Tante Detris, atau malah De Detris... Redundansi deh, kayak Bank BRI, Bank BCA, Bank BNI... Sudah begitu, biasanya di luar keluarga inti, tidak ada yang tahu nama di akte kelahiran, ijazah, dan KTP-ku. Pernah kejadian sedang nginap di rumah uwak, ada teman menelepon ke rumah, langsung dijawab oleh uwak dengan tegas "Oh, maaf salah sambung. Tidak ada yang namanya Indah di sini." Dan telepon keburu ditutup aku sempat mengambil alih. Huh.

Tentu saja, di luar kalangan keluarga, semua orang memanggilku dengan nama KTP. Entah kenapa, tidak pernah bisa membawa nama panggilan rumah ke sekolah atau lingkungan kerja. Pernah waktu pindah sekolah ke lingkungan baru, pas hendak mencoba mengenalkan diri "Panggil aku Tris", eh sudah ada teman sekelas yang nama panggilannya Neng Tris, singkatan dari Neneng Trisyanti. Ya sudahlah... formal saja deh. Itu pun kadang bermasalah juga karena nama depanku cukup populer (baca: pasaran), jadi selama dua tahun sekelas dengan yang bernama depan sama jadi dipanggil "Indah Tri", hanya sekedar pembeda.

Judul buku ini, Panggil aku B. Kalau aku mau mencoba panggilan sesingkat seperti Neng Beauty Ayu di sini, bisa sih coba-coba panggilan baru jadi Ms. I atau Ms. T. Dibacanya kok jadi Missy atau Misty, ya? Terus kalau Ms. T bisa-bisa dikira pasangannya Mr. T nantinya. Kalau coba pakai Ms. Tris, nanti bisa-bisa dipanggil Mistress. Gawat, serasa di jaman historical romance deh...

Eh, lho, dari tadi kok malah ngomongin nama panggilan? Ini mah bukan review atuh nya?

View all my reviews

Selasa, 06 Desember 2011

Eating Animals

Eating AnimalsEating Animals by Jonathan Safran Foer
My rating: 5 of 5 stars

1270th - 2011

Pernahkah kau memikirkan asal-usul makanan yang tersaji di piring makanmu?

Sebagian orang, dengan alasan ekonomis dan higienis, lebih suka memasak makanannya sendiri, daripada membeli makanan di luar rumah yang belum terjamin kebersihan dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya (MSG, bahan pengawet, bahan pewarna, dst). Tapi... apakah bahan makanan itu sendiri, yang dibeli di pasar atau supermarket, terjamin kebersihan dan kesehatannya?

Buku ini mengupas asal-usul daging hewan yang tersaji di piring makan kita. Yang dibahas memang daging hewan di Amerika Serikat, tapi tidak menutup kemungkinan di negara kita juga, secara Indonesia masih gemar mengimpor bahan makanan dari luar negeri, dan sistem peternakan kita mulai meniru sistem peternakan pabrik mereka demi laba efektivitas dan efisiensi.

Sekaleng tuna yang ada di kulkas kita mungkin telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies hewan laut lainnya. Sepotong steak yang dinikmati di foodcourt (terutama yang daging impor!) bisa jadi hasil dari peternakan pabrik di mana sapi berjejalan sejak masih bayi tanpa mengetahui seperti apa sungai tampak berliku, sawah hijau membentang, bagai permadani di kaki langit.... #eh kok malah nyanyi

Ayam, kalkun, babi dan sapi di peternakan pabrik telah mengalami rekayasa genetika, demi penyesuaian dengan permintaan pasar. Diberi hormon pertumbuhan agar cepat besar dan dapat dikonsumsi dalam waktu singkat. Dikasih suntikan antibiotik karena rentan penyakit. Dan rekayasa lainnya, misalnya untuk memperoleh telur lebih cepat dan banyak atau daging tanpa lemak... Akibatnya hewan ternak tidak bisa hidup di luar peternakan pabrik tempat mereka hidup sejak bayi sampai dibawa ke pejagalan. Dengan lingkungan hidup yang dikondisikan, mereka telah kehilangan kemampuan beradaptasi dengan alam, dan kehilangan kekebalan terhadap penyakit...

Memperhatikan anak-anak zaman sekarang yang tumbuh lebih cepat dan besar padahal orang tuanya yang tidak memiliki gen tubuh besar, bisa saja bukan cuma karena gizi yang lebih baik, tapi karena makanan sehari-hari yang mengandung hormon pertumbuhan. Belum lagi mudah alergi dan terserang penyakit aneh-aneh, yang cenderung kebal terhadap antibiotik... Apapun rekayasa genetika yang dilakukan terhadap hewan-hewan komsumsi, secara tidak langsung merekayasa gen manusia juga.

Bayangkan bila ada makhluk hidup dengan intelegensi lebih tinggi dari manusia, yang memandang manusia tak lebih dari bahan makanan. Mungkin mereka akan memperlakukan kita seperti apa yang kita lakukan terhadap hewan-hewan yang kita konsumsi. Manusia dibeda-bedakan berdasarkan rasnya, mana yang lebih enak, lebih bergizi, atau lebih banyak dagingnya. Lalu ras yang dagingnya sedikit dan rasanya tidak enak dimusnahkan, sedangkan sisanya dikembangbiakkan. Supaya efisien dan ekonomis, manusia dikumpulkan dalam suatu bangunan, diberi hormon pertumbuhan supaya dapat cepat dipanen dan diberi antibiotik ini itu supaya bisa hidup dalam lingkungan sumpek yang rentan penyakit. Akibat kurang gerak, otot jadi lemah dan tulang jadi keropos, tapi mungkin jadi cocok untuk hidangan “manusia tulang lunak”. Supaya tidak stres, mungkin manusia bisa diberi ilusi dengan teknologi virtual-reality seolah masih hidup bebas di luar sana *matrix abis.com* Lalu bila tiba saatnya, manusia dikumpulkan dalam kontainer dan dikirim ke bangunan lain, di mana mesin-mesin bekerja untuk memisahkan kepala dari badan, menguras darah, mengeluarkan isi perut, memilah-milah daging paha atau dada... #lho, kok jadi horor...

Bisa membayangkannya? Itulah yang dialami hewan-hewan konsumsi di peternakan pabrik. Seumur hidup menderita (kecuali kita bisa memberi ilusi bahwa mereka hidup bebas di alam), lantas mati dengan tidak manusiawi. Seandainya mereka bisa bicara...

Video Meat Your Meat yang memperlihatkan perlakuan terhadap hewan ternak pabrik bisa diintip di sini:

http://video.google.com/videoplay?docid=...

Tapi meskipun sudah baca buku-buku Eric Sclosser, Michael Pollan, dan buku ini... bukan berarti aku jadi mendadak vegetarian atau vegan sekalian, meski memang lebih suka makan sayuran...


View all my reviews