Laki-laki itu menatapku tajam. Matanya melotot, mulutnya cemberut, membuat wajah tampannya jadi kelihatan jelek. Tapi aku tetap cinta padanya.
“Dasar tidak tahu diri!” gerutunya. “Memangnya kau pikir berapa uang yang harus kukeluarkan untuk membelimu dari Tante Mirna? Belum makananmu! Atau baju dan sepatu konyol yang kaupakai itu!”
Aku menelengkan kepala, membalas tatapannya, tapi tidak menyahut.
“Kusuruh tengkurap malah terlentang. Kuminta duduk malah berdiri. Dan kau tidak bisa diam sebentar saja. Apa sih susahnya menuruti perintahku? Atau kau lebih suka kubuang ke jalanan?”
Aku membangkang karena ingin mencari perhatiannya. Tapi aku tidak mau dibuang, kelaparan dan kedinginan. Maka segera kujawab, “Guk!”
Tampilkan postingan dengan label flashfiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label flashfiction. Tampilkan semua postingan
Minggu, 14 November 2010
Sabtu, 12 Desember 2009
Dada itu... paha itu...
Aku memandang dari kejauhan.
Terpana. Tergiur.
Dada itu... paha itu...
Begitu mulus... begitu mengundang selera.
Perutku bergolak. Air liurku menetes. Ingin rasanya menyentuh, mencicipi... Tanpa terasa aku menjilati bibir.
Tapi laki-laki itu ada di sini. Meskipun sekarang tidak kelihatan, aku tahu laki-laki itu ada di sini. Mungkin di ruangan sebelah.
Aku tak mungkin mendekat tanpa sepengetahuannya. Aku tak mungkin menyentuh dan mencicipi apa yang menjadi miliknya. Kecuali...
Aku tertegun. Kecuali aku mengambil risiko. Hei, mengapa tidak? Kau harus mengambil risiko untuk mendapatkan apa yang kauinginkan, bukan?
Maka aku mendekat... perlahan-lahan... sangat hati-hati. Laki-laki itu bisa muncul kapan saja dan memergokiku...
Semakin dekat, semakin berkurang kewaspadaanku. Oh... dada itu... paha itu... yang mana yang harus kucicipi lebih dulu...?
Begitu sampai, aku tidak berpikir lagi. Dada itu begitu besar... lebih pantas untuk memuaskan nafsuku... Aku langsung mencengkeramnya, membenamkan mulutku dalam kehangatannya...
Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, sebuah sandal jepit melayang ke arah kepalaku. Otomatis aku mengelak, dan langsung kabur secepat kilat sambil membawa hadiahku.
Teriakan marah laki-laki itu mengiringi lolosnya aku dari bahaya.
"Ayam gorengku!!! Dasar kucing garong!"
Terpana. Tergiur.
Dada itu... paha itu...
Begitu mulus... begitu mengundang selera.
Perutku bergolak. Air liurku menetes. Ingin rasanya menyentuh, mencicipi... Tanpa terasa aku menjilati bibir.
Tapi laki-laki itu ada di sini. Meskipun sekarang tidak kelihatan, aku tahu laki-laki itu ada di sini. Mungkin di ruangan sebelah.
Aku tak mungkin mendekat tanpa sepengetahuannya. Aku tak mungkin menyentuh dan mencicipi apa yang menjadi miliknya. Kecuali...
Aku tertegun. Kecuali aku mengambil risiko. Hei, mengapa tidak? Kau harus mengambil risiko untuk mendapatkan apa yang kauinginkan, bukan?
Maka aku mendekat... perlahan-lahan... sangat hati-hati. Laki-laki itu bisa muncul kapan saja dan memergokiku...
Semakin dekat, semakin berkurang kewaspadaanku. Oh... dada itu... paha itu... yang mana yang harus kucicipi lebih dulu...?
Begitu sampai, aku tidak berpikir lagi. Dada itu begitu besar... lebih pantas untuk memuaskan nafsuku... Aku langsung mencengkeramnya, membenamkan mulutku dalam kehangatannya...
Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, sebuah sandal jepit melayang ke arah kepalaku. Otomatis aku mengelak, dan langsung kabur secepat kilat sambil membawa hadiahku.
Teriakan marah laki-laki itu mengiringi lolosnya aku dari bahaya.
"Ayam gorengku!!! Dasar kucing garong!"
Langganan:
Postingan (Atom)