Sabtu, 31 Desember 2011

City of Thieves (Kota Para Pencuri)City of Thieves by David Benioff
My rating: 5 of 5 stars

1st - 2012

Buku pertama di awal tahun.

Siapa sangka misi mencari selusin telur di tengah kecamuk Perang Dunia II di Leningrad bisa menjadi kisah yang memikat?

*langsung bikin telur mata sapi untuk sarapan, dan mensyukuri nikmat-Nya*

View all my reviews

Minggu, 18 Desember 2011

The Dangerous Days of Daniel XThe Dangerous Days of Daniel X by James Patterson
My rating: 3 of 5 stars

1308th - 2011

Just ceban at FPI 2011.

Reading this novel is just like seeing tokusatsu or superhero cartoon, with a teenage Alien Hunter aka Protector of Universe (like Space Police Gavan, probably, or a Green Lantern, maybe) who has the power to create with his power of imagination (umm... here a Green Lantern point).

It's not an original plot, but a fun reading. Fast-paced, with an anticlimax and a rather disappointing ending. Duh!

Musuhnya gampang amat dikalahinnya! The Power to Create vs The Power to Destroy harusnya lebih seru ah! >.
View all my reviews

Jumat, 16 Desember 2011

Panggil Aku...

Ms. B: Ms. B: "Panggil Aku B" by Fira Basuki
My rating: 3 of 5 stars

1301st - 2011

Di kalangan keluarga, semua orang memanggilku Tris. Karena anak paling bontot, panggilannya jadi De Tris. Dus, saking nempelnya panggilan itu, malah dianggap begitulah namaku, sehingga ada yang memanggilku Kak Detris, Tante Detris, atau malah De Detris... Redundansi deh, kayak Bank BRI, Bank BCA, Bank BNI... Sudah begitu, biasanya di luar keluarga inti, tidak ada yang tahu nama di akte kelahiran, ijazah, dan KTP-ku. Pernah kejadian sedang nginap di rumah uwak, ada teman menelepon ke rumah, langsung dijawab oleh uwak dengan tegas "Oh, maaf salah sambung. Tidak ada yang namanya Indah di sini." Dan telepon keburu ditutup aku sempat mengambil alih. Huh.

Tentu saja, di luar kalangan keluarga, semua orang memanggilku dengan nama KTP. Entah kenapa, tidak pernah bisa membawa nama panggilan rumah ke sekolah atau lingkungan kerja. Pernah waktu pindah sekolah ke lingkungan baru, pas hendak mencoba mengenalkan diri "Panggil aku Tris", eh sudah ada teman sekelas yang nama panggilannya Neng Tris, singkatan dari Neneng Trisyanti. Ya sudahlah... formal saja deh. Itu pun kadang bermasalah juga karena nama depanku cukup populer (baca: pasaran), jadi selama dua tahun sekelas dengan yang bernama depan sama jadi dipanggil "Indah Tri", hanya sekedar pembeda.

Judul buku ini, Panggil aku B. Kalau aku mau mencoba panggilan sesingkat seperti Neng Beauty Ayu di sini, bisa sih coba-coba panggilan baru jadi Ms. I atau Ms. T. Dibacanya kok jadi Missy atau Misty, ya? Terus kalau Ms. T bisa-bisa dikira pasangannya Mr. T nantinya. Kalau coba pakai Ms. Tris, nanti bisa-bisa dipanggil Mistress. Gawat, serasa di jaman historical romance deh...

Eh, lho, dari tadi kok malah ngomongin nama panggilan? Ini mah bukan review atuh nya?

View all my reviews

Selasa, 06 Desember 2011

Eating Animals

Eating AnimalsEating Animals by Jonathan Safran Foer
My rating: 5 of 5 stars

1270th - 2011

Pernahkah kau memikirkan asal-usul makanan yang tersaji di piring makanmu?

Sebagian orang, dengan alasan ekonomis dan higienis, lebih suka memasak makanannya sendiri, daripada membeli makanan di luar rumah yang belum terjamin kebersihan dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya (MSG, bahan pengawet, bahan pewarna, dst). Tapi... apakah bahan makanan itu sendiri, yang dibeli di pasar atau supermarket, terjamin kebersihan dan kesehatannya?

Buku ini mengupas asal-usul daging hewan yang tersaji di piring makan kita. Yang dibahas memang daging hewan di Amerika Serikat, tapi tidak menutup kemungkinan di negara kita juga, secara Indonesia masih gemar mengimpor bahan makanan dari luar negeri, dan sistem peternakan kita mulai meniru sistem peternakan pabrik mereka demi laba efektivitas dan efisiensi.

Sekaleng tuna yang ada di kulkas kita mungkin telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies hewan laut lainnya. Sepotong steak yang dinikmati di foodcourt (terutama yang daging impor!) bisa jadi hasil dari peternakan pabrik di mana sapi berjejalan sejak masih bayi tanpa mengetahui seperti apa sungai tampak berliku, sawah hijau membentang, bagai permadani di kaki langit.... #eh kok malah nyanyi

Ayam, kalkun, babi dan sapi di peternakan pabrik telah mengalami rekayasa genetika, demi penyesuaian dengan permintaan pasar. Diberi hormon pertumbuhan agar cepat besar dan dapat dikonsumsi dalam waktu singkat. Dikasih suntikan antibiotik karena rentan penyakit. Dan rekayasa lainnya, misalnya untuk memperoleh telur lebih cepat dan banyak atau daging tanpa lemak... Akibatnya hewan ternak tidak bisa hidup di luar peternakan pabrik tempat mereka hidup sejak bayi sampai dibawa ke pejagalan. Dengan lingkungan hidup yang dikondisikan, mereka telah kehilangan kemampuan beradaptasi dengan alam, dan kehilangan kekebalan terhadap penyakit...

Memperhatikan anak-anak zaman sekarang yang tumbuh lebih cepat dan besar padahal orang tuanya yang tidak memiliki gen tubuh besar, bisa saja bukan cuma karena gizi yang lebih baik, tapi karena makanan sehari-hari yang mengandung hormon pertumbuhan. Belum lagi mudah alergi dan terserang penyakit aneh-aneh, yang cenderung kebal terhadap antibiotik... Apapun rekayasa genetika yang dilakukan terhadap hewan-hewan komsumsi, secara tidak langsung merekayasa gen manusia juga.

Bayangkan bila ada makhluk hidup dengan intelegensi lebih tinggi dari manusia, yang memandang manusia tak lebih dari bahan makanan. Mungkin mereka akan memperlakukan kita seperti apa yang kita lakukan terhadap hewan-hewan yang kita konsumsi. Manusia dibeda-bedakan berdasarkan rasnya, mana yang lebih enak, lebih bergizi, atau lebih banyak dagingnya. Lalu ras yang dagingnya sedikit dan rasanya tidak enak dimusnahkan, sedangkan sisanya dikembangbiakkan. Supaya efisien dan ekonomis, manusia dikumpulkan dalam suatu bangunan, diberi hormon pertumbuhan supaya dapat cepat dipanen dan diberi antibiotik ini itu supaya bisa hidup dalam lingkungan sumpek yang rentan penyakit. Akibat kurang gerak, otot jadi lemah dan tulang jadi keropos, tapi mungkin jadi cocok untuk hidangan “manusia tulang lunak”. Supaya tidak stres, mungkin manusia bisa diberi ilusi dengan teknologi virtual-reality seolah masih hidup bebas di luar sana *matrix abis.com* Lalu bila tiba saatnya, manusia dikumpulkan dalam kontainer dan dikirim ke bangunan lain, di mana mesin-mesin bekerja untuk memisahkan kepala dari badan, menguras darah, mengeluarkan isi perut, memilah-milah daging paha atau dada... #lho, kok jadi horor...

Bisa membayangkannya? Itulah yang dialami hewan-hewan konsumsi di peternakan pabrik. Seumur hidup menderita (kecuali kita bisa memberi ilusi bahwa mereka hidup bebas di alam), lantas mati dengan tidak manusiawi. Seandainya mereka bisa bicara...

Video Meat Your Meat yang memperlihatkan perlakuan terhadap hewan ternak pabrik bisa diintip di sini:

http://video.google.com/videoplay?docid=...

Tapi meskipun sudah baca buku-buku Eric Sclosser, Michael Pollan, dan buku ini... bukan berarti aku jadi mendadak vegetarian atau vegan sekalian, meski memang lebih suka makan sayuran...


View all my reviews

Jumat, 05 Agustus 2011

Kumpulan Twits Goenawan Mohamad

Percikan: Kumpulan Twitter @gm_gm Goenawan Mohamad Percikan: Kumpulan Twitter @gm_gm Goenawan Mohamad by Goenawan Mohamad

My rating: 5 of 5 stars


801st - 2011



Tak cukup tempat dan waktu untuk mengomentari isi kumpulan opini mini ini, untuk sementara cukuplah sekian saja:



Bab informasi dan media yang mengkritik media informasi yang semakin tak independen, tak terkontrol dan tak mendidik, aku jadi ingin mengutip Groucho Marx: I find television very educating. Everytime somebody turns on the set, I go into the other room and read a book. Aku selalu ketinggalan tren berita infotainment dan gosip selebriti plus politisi di kantor, tapi rasanya informasi siapa cerai dengan si anu atau si anu selingkuh dengan si ini memang tak penting dan tak cukup berharga untuk diketahui. Aku masih haus dan lapar atas banyak pengetahuan, tapi sisik pelik selebriti yang lalu-lalang di televisi tidak termasuk di antaranya.



Bab politik dan demokrasi, serasa mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals. Hidup di jaman Orde Baru dan jaman Reformasi, tapi lagu yang sama masih berlaku. Perilaku politisi Orde Baru masih dipelihara para politisi yang seharusnya membawa angin perubahan, malah lebih parah. Bedanya, dulu diam-diam, sekarang terbuka dan terang-terangan. Dulu cuma tercium bau busuknya, sekarang kelihatan bangkainya.



Bab Korupsi. Jihad paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu. Perang melawan korupsi yang dicanangkan para pelakunya sendiri... jihad yang sangat, sangat sulit.



Bab Ekonomi dan Konsumerisme. Aku konsumtif, meski bukan untuk mobil-rumah mewah atau jas 125 juta. Hanya untuk belanja buku.



Dalam bab Tokoh dan Sejarah, legenda Bung Karno mendominasi. Diurai tuntas dari berbagai sudut. Kelebihan, kelemahan, ambisi, sekaligus ketidakberdayaan dalam mempertahankan cita-citanya akan persatuan yang tidak bisa diterima masing-masing golongan yang bertikai diam-diam di balik punggungnya.





View all my reviews

Sejumlah Epigram oleh Goenawan Mohamad

Pagi Dan Hal-Hal Yang Dipungut KembaliPagi Dan Hal-Hal Yang Dipungut Kembali by Goenawan Mohamad

My rating: 5 of 5 stars


800th - 2011

Wow, tak terasa sudah mendekati target baca buku nonkomik tahun ini.

Meski bukunya tipis, isinya kumpulan epigram, dan font-nya besar-besar, waktu yang kuhabiskan untuk membaca buku ini terhitung lama dibandingkan bila membaca buku tipis lainnya. Karena setiap membaca satu epigram aku perlu waktu untuk merenungi, mengartikan makna kalimat bersayap, untuk kemudian tersenyum dan tertawa, atau malah menghabiskan waktu untuk menyampaikan kembali ke teman epigram yang dirasa menarik untuk di-share.

Sangat banyak yang bisa dikutip dan diulang dari buku ini, tapi cukuplah kucantumkan satu yang terkait hobiku membaca buku :

Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: "BACALAH".

Sama seperti jawaban yang biasa kuberikan bila ada yang bertanya "Kenapa sih suka banget membaca?": "Karena ayat pertama yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Muhammad saw adalah 'Bacalah'."



View all my reviews

Minggu, 17 Juli 2011

Istana Khayalan

The Palace of Illusions (Istana Khayalan)The Palace of Illusions by Chitra Banerjee Divakaruni

My rating: 5 of 5 stars


727th - 2011

Speechless...

Meskipun masih hafal alur cerita Mahabharata karena waktu SD rajin membaca komiknya, buah karya Jan Mintaraga dan Teguh Santosa yang menjadi sisipan majalah anak-anak Ananda yang terbit seminggu sekali.

Meskipun komik yang kubaca memiliki perbedaan besar dengan versi ini: Drupadi istri Yudhistira. Titik. Versi yang aman untuk dibaca anak-anak, sehingga tak akan ada bocah perempuan yang bertanya pada orang tuanya apakah ia boleh memiliki lima orang suami bila telah besar nanti.

Meskipun tokoh favoritku, Gatotkaca (konon ayahku sudah memilih nama Gatot untukku waktu aku masih dalam kandungan) di versi ini ternyata berujud raksasa, bukan cowok ganteng kumis tipis-otot-kawat-tulang-besi yang bisa terbang ala Superman model gini:

description

Mengikuti kisah ini dari POV Drupadi, benar-benar pengalaman baru...





Selasa, 14 Juni 2011

Cita-Citaku...

The Key Word: Perpustakaan di Mata MasyarakatThe Key Word: Perpustakaan di Mata Masyarakat by Labibah Zain

My rating: 3 of 5 stars


605th - 2011



Konon, waktu aku masih dalam kandungan, ibuku sedang haus-hausnya membaca apa saja, terutama buku-buku dan majalah [kebanyakan majalah intisari, katanya, *bukan iklan*].



Konon, waktu masih balita, aku suka ngerecokin orangtua minta dibacakan majalah atau buku cerita, padahal kedua orangtuaku sibuk bekerja, ayahku pegawai negeri yang sering dinas keluar kota sementara ibuku menerima jahitan. Karena lebih mudah mengajariku membaca daripada menyediakan waktu untuk membacakan majalah atau buku cerita untukku di tengah kesibukan, alhasil aku melek huruf lebih cepat daripada kebanyakan balita pada saat itu.



Konon, karena tidak ada hiburan selain acara TVRI, orangtua lebih suka membelikan bahan bacaan buat anak-anak daripada mengajak rekreasi. Sialnya, begitu anak-anak dianggap sudah bisa bertanggung jawab dan mendapat uang saku bulanan, orangtua hanya bersedia membiayai langganan majalah saja, sedangkan untuk buku anak-anak harus beli sendiri.



Di situlah dimulai perjuanganku untuk memperoleh dan membaca buku. Sementara kedua kakakku menggunakan uang saku untuk pakaian, tas, sepatu atau apa saja yang mereka sukai, hampir seluruh uang sakuku sejak SD habis untuk membeli buku. Pakaian cukuplah yang dibuat oleh ibuku, sedangkan yang lainnya bisa menunggu lungsuran dari kedua kakakku kalau mereka sudah bosan. Imbangannya, kedua kakakku yang sebenarnya suka membaca tapi tidak sesuka itu untuk membelinya, juga ikut menikmati koleksi buku yang kubeli.



Tapi yang namanya uang saku jelas sangat terbatas, dan baca buku yang itu-itu saja, meskipun buku favorit, lama-lama ya bosan juga. Solusi terbaik bagiku adalah meminjam buku dari perpustakaan atau taman bacaan.



Perkenalan pertamaku dengan perpustakaan adalah waktu masih SD. Waktu istirahat, pulang sekolah, atau menunggu kegiatan ekstrakurikuler dimulai, aku bisa betah berlama-lama di ruang perpustakaan SD dan membaca koleksinya. Favoritku buku-buku pengetahuan terbitan Balai Pustaka, karena buku cerita boleh dibilang tidak banyak dan kalaupun ada tidak menarik. Untuk buku cerita, aku harus menyewa buku di taman bacaan dekat SD. Memang harus menyisihkan uang saku untuk keperluan ini, tapi minimal aku dapat membaca buku lebih banyak daripada kalau harus membeli sendiri.



Dengan kombinasi antara membeli dan menyewa buku, aku akhirnya dapat membaca karya-karya pengarang favorit, dari Enid Blyton, Bung Smas, Mira W, Marga T, S. Mara Gd, V. Lestari, Agatha Christie, Chin Yung, Kho Ping Hoo, Hilman, Eiji Yoshikawa, Jackie Collins, John Grisham, Jeffrey Archer, Tom Clancy, Alistair MacLean, Jack Higgins, etc... ehm, terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Tak ketinggalan komik-komik Eropa, dari Tintin, Asterix, Smurf, Lucky Luke, Tanguy & Laverdure, Si Janggut Merah, 4as, etc lagi...



Sampai lulus SMP koleksi perpustakaan pribadi boleh dibilang baru berkisar di angka 300-an, sebagian besar berupa novel. Lalu saat aku duduk di SMA, manga Jepang merambah Indonesia, dimulai dengan serial Candy-Candy, Kungfu Boy, dan Dragon Ball. And I’m hooked forever, dengan alasan sederhana. Tidak seperti komik Eropa yang temanya terbatas, tipis, dan mahal, manga Jepang temanya sangat variatif, tebal, dan lebih murah. Tapi sisi buruknya, meskipun lebih murah, satu judul manga bisa terdiri dari puluhan jilid sehingga bikin kantong semakin bolong... Tentu saja aku masih membeli novel, tapi gara-gara anggaran untuk manga aku lebih selektif, membatasi pada karya pengarang tertentu, sedangkan sisanya lebih baik meminjam dari teman atau taman bacaan.



Begitu lulus kuliah dan memperoleh uang dari hasil keringat sendiri, hasratku membaca dan memiliki (harus digarisbawahi!) buku nyaris tak terkontrol lagi. Sesuai jadwal terbit manga yang seminggu sekali, aku pun terjadwal pergi ke toko buku seminggu sekali untuk membeli manga yang terbit minggu itu dan sesekali ditambah satu-dua novel atau buku nonfiksi. Kebiasaan yang terus berlanjut hingga saat ini.



Ke mana larinya buku-buku koleksiku setelah kubaca? Setelah jumlahnya membengkak dan tumpukan buku yang belum dibaca semakin menggunung (kebanyakan buku bekas dan buku obralan yang dibeli karena harga banting), boro-boro bisa membaca ulang sampai lecek seperti jaman SD dulu, begitu selesai dibaca buku-buku langsung disimpan di rumahku di Bandung. Buku-buku yang sekarang jumlahnya sudah lebih dari selaksa itu tidak hanya memenuhi ruangan khusus perpustakaan, tapi hampir setiap ruangan yang kebetulan memiliki lemari dan meja... Hiasan porselen atau pernak-pernik lain, diharap minggiiir...!



Pertanyaan yang sering diajukan teman yang kebetulan tidak begitu suka baca dan penasaran buat apa aku menghabiskan sebagian gaji untuk buku, biasanya “Lalu buku-buku sebanyak itu diapakan? Dijadikan taman bacaan?”



Biasanya kujawab tidak. Karena rasa memiliki yang begitu tinggi--dan pengalaman buruk di masa lalu dalam hal meminjamkan buku--membuatku sangat selektif untuk memilih orang yang dapat kuberi pinjam. Terbatas pada orang-orang yang kuyakini akan mematuhi aturan penting dalam membaca bukuku: hanya boleh dibuka maksimal 90 derajat, halaman tidak boleh dilipat. Buku harus kembali dalam kondisi sempurna, tanpa ada tekukan, apalagi coretan [kecuali buku bekas yang memang sudah lecek dari sananya]. Yang melanggar akan masuk daftar hitam dan seumur hidup takkan pernah kupinjamkan lagi (lebay, but true... >.<). Mereka yang ikut membaca koleksi bukuku saat ini hanyalah beberapa orang teman, orang tuaku, kakakku, dan keponakanku.


Namun beberapa tahun belakangan ini, aku berubah pikiran. Sampai kapan aku akan mempertahankan semua buku itu untuk diriku sendiri, dan untuk apa? Melihat kedua keponakanku yang memiliki akses mudah ke perpustakaan pribadiku—dengan sensor ketat kakakku, tentunya—terpikirkan bahwa tidak semua anak memiliki kemudahan seperti itu. Terbayang waktu aku seumur mereka, perlu pengorbanan dan kesabaran untuk bisa membaca buku yang kuinginkan...



Secinta apapun aku pada buku-bukuku, tak satu pun yang akan kubawa mati. Oleh karena itu, beberapa tahun terakhir ini, selain membeli buku rutin, di setiap kesempatan aku mulai mengumpulkan buku pengetahuan dan buku cerita anak-anak. Aku yang dahulu bermimpi memiliki perpustakaan pribadi hanya untuk diriku sendiri, sekarang mulai bermimpi untuk membuka rumah baca di kampung halaman orangtuaku di Cirebon. Aku ingin buku-bukuku dapat memberikan manfaat, dapat meningkatkan minat baca anak-anak yang tidak punya akses ke buku bacaan. Dan mudah-mudahan, selanjutnya bukan hanya untuk anak-anak setempat, tapi untuk masyarakat umum juga. Tanpa dipungut biaya.



Tentu saja tantangannya akan sangat banyak. Seperti yang dikisahkan penulis Iwok Abqari di buku ini, membuka rumah baca, gratis pula, tidaklah mudah. Dana pribadi yang perlu dikeluarkan, di luar buku-buku yang sudah terkumpul, harus tersedia. Mengingat saat ini aku masih bekerja di Jakarta, rumah buku itu tentu harus memiliki pengelola tetap--diutamakan pecinta buku--dan harus digaji. Tidak cukup sukarelawan. Dan yang lebih sulit lagi, bagaimana membuat anak-anak di kampungku yang saat ini terlihat lebih suka menghabiskan uang jajannya untuk main game di rental PS atau komputer, agar tertarik untuk membaca buku...



Semoga mimpi ini bukan mimpi yang akan terlupakan saat terjaga. Semoga Tuhan mengabulkan, sehingga niat baik tidak berakhir di pikiran dan ucapan belaka. Semoga.



Demikian review (curcol?) terpanjangku hingga saat ini.



View all my reviews

Jumat, 10 Juni 2011

Kedai 1001 Mimpi

Kedai 1001 Mimpi: Kisah Nyata Seorang Penulis yang Menjadi TKIKedai 1001 Mimpi: Kisah Nyata Seorang Penulis yang Menjadi TKI by Valiant Budi

My rating: 4 of 5 stars


562th - 2011



Terlepas dari cerita-cerita pilu TKW yang sering muncul di TV/Koran, berdasarkan pengalaman pribadi selama berada di Arab Saudi kurang lebih 40 hari pada tahun 2007/08, semuanya kelihatan fine-fine saja, orang-orang di sana--terutama para pedagang--ekstra ramah, meski suka rada bete kalo ada yang maksa nawar harga... :) Plus tidak ada insiden kelaparan karena konsumsi terlambat atau bencana banjir bandang...



Selain itu, meski banyak yang mewanti-wanti agar kebiasaanku di Indonesia tidak dilakukan, yaitu jalan-jalan sendirian, aku tetap nekat jalan-jalan sendirian. Soalnya anggota kelompokku rata-rata sudah sepuh, 70-80an tahun, dan mereka lebih suka istirahat di hotel. Duh, udah jauh-jauh ke sana masak mau di hotel melulu, rugi dong...



Alhamdulilah aku nggak pernah mengalami insiden yang merusak jiwa raga. Barangkali karena kemana-mana aku cuma naik bis khusus Indonesia [kadang2 nebeng bis Turki ding], dan dibilang sendirian juga di mana-mana banyak orang Indonesia yang bisa dikenali dari baju hijau telor asinnya. Aku merasa aman banget, apalagi jalan-jalannya juga selalu ke tempat ramai, kayak pasar dan mall [jalan-jalan doang, bukan belanja, secara anggaran terbatas ^^]...



Omong-omong tentang mall, jadi keingetan deh. Pas lagi makan siang di pinggir mall--jauh-jauh ke sana cuman buat makan KFC--aku menyaksikan satu insiden, di antara umat di halaman Masjidil Haram, ada cowok yang meng-grepe-grepe cewek di dekatnya sampai tuh cewek teriak dan menjerit-jerit. Tentu saja tak lama kemudian tuh cowok ditangkap polisi. Tapi yang nggak ngerti apa yang bikin cowok itu tiba-tiba nafsu nggak kenal tempat, cari kesempatan dalam kesempitan, padahal korbannya pakai burqa tertutup rapat, nggak kayak orang Indonesia yang kadang cuman pakai jilbab doang.



Singkatnya, di mataku, everything is fine... yah, mungkin karena musim ibadah juga sehingga semua orang menahan diri dan semua keburukan yang mungkin ada tak muncul ke permukaan...



Setelah membaca ke buku Mas Vabyo yang membuka apa yang tertutupi dari mata turis sepertiku, hikmah yang kudapat :



- Kalau suatu hari diperkenankan kembali ke tanah suci, kudu hati-hati kalo mau ngupi-ngupi di Cafe S***bucks , eh, Cafe Sky Rabbits, secara kita bisa dapat extra-extra yang tidak menyenangkan dari barista bete yang kreatif abis.



- Tidak cuma TKW Indonesia yang jadi korban pelecehan, tapi juga TKP (Tenaga Kerja Pria), baik dari kaum hawa (majikan dan sodara-sodaranya) maupun dari kaum adam (ihhh!), apalagi yang kulitnya putih mulus dan tampangnya imut. Hm, kirain cuma di Afghanistan saja seperti ceritanya Mas Agus di Selimut Debu.



- Nggak di Indonesia, nggak di Arab Saudi, sifat-sifat manusia tetap sama... lahir dan hidup di tanah suci bukan lantas lebih suci dari mereka yang lahir dan hidup di negeri lain.



View all my reviews

Senin, 30 Mei 2011

Sejarah Yang Kita Tahu...

Sejarah yang kita tahu... dari manakah kita mendapatkannya? Buku-buku sejarah di sekolah? Buku-buku sejarah yang didiktekan pemerintah? Atau buku-buku alternatif dari dalam maupun luar negeri yang bisa sama maupun sangat berbeda dari versi resmi pemerintah?

Sejak sepotong demi sepotong sejarah versi resmi yang tercetak di benakku tergerus oleh makin banyaknya buku referensi sejarah yang kubaca, aku pun merasa gamang... tak dapat meyakini yang mana yang benar. Semakin banyak membaca malah membuat semakin bingung...

Bagaimana jika kita menerima informasi yang benar-benar bertentangan dengan sejarah versi manapun, dan bertentangan dengan logika dan akal sehat? Bahwa sejarah menyatakan bahwa si A wafat, si B gugur, si C meninggal dunia, tapi pada kenyataannya masih hidup, hanya saja di luar jangkauan radar masyarakat umum? Aku tidak membicarakan Elvis di sini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi publik bila informasi tersebut tersingkap dan terbukti benar. Akankah buku-buku sejarah menjadi basi dan harus ditulis ulang?

Sejarah yang kita tahu belum tentu benar. Hanya Tuhan yang tahu kebenarannya, dan sebagian kecil orang yang diperkenankan mengetahuinya mungkin tidak diperkenankan menyebarkannya. Mungkin selamanya, kita takkan pernah tahu sejarah yang sesungguhnya...

Selasa, 17 Mei 2011

Fill In The Blank

Rela berkorban demi …………………………

Di masa perjuangan kemerdekaan, titik-titik kosong di atas bisa diisi macam-macam. Nusa bangsa. Kemerdekaan. Perdamaian abadi. Dan Keadilan Sosial. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus di— … ups, maaf kebablasan. Maksudnya, di masa itu, orang rela berkorban tanpa pamrih untuk kepentingan yang lebih besar, meskipun hal itu belum pasti adanya, dan sama sekali tak ada jaminan.

Bukannya di masa sekarang tidak ada. Rela berkorban demi cinta toh masih tetap ada. Cinta orang tua, cinta kekasih, cinta apapun bentuknya. Namun… sekarang prinsip rela berkorban tanpa pamrih sulit dilakukan, karena di jaman materialisme dan kapitalisme ini, kita semua telah diajari, dibiasakan, untuk bersifat realistis. Untuk memperhitungkan untung-rugi sebelum mengambil keputusan, dan tentunya untung-rugi itu harus tampak jelas, bukan hal-hal yang belum pasti.

Ada uang, ada barang
Tak ada uang, abang ditendang...