Selasa, 06 Desember 2011

Eating Animals

Eating AnimalsEating Animals by Jonathan Safran Foer
My rating: 5 of 5 stars

1270th - 2011

Pernahkah kau memikirkan asal-usul makanan yang tersaji di piring makanmu?

Sebagian orang, dengan alasan ekonomis dan higienis, lebih suka memasak makanannya sendiri, daripada membeli makanan di luar rumah yang belum terjamin kebersihan dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya (MSG, bahan pengawet, bahan pewarna, dst). Tapi... apakah bahan makanan itu sendiri, yang dibeli di pasar atau supermarket, terjamin kebersihan dan kesehatannya?

Buku ini mengupas asal-usul daging hewan yang tersaji di piring makan kita. Yang dibahas memang daging hewan di Amerika Serikat, tapi tidak menutup kemungkinan di negara kita juga, secara Indonesia masih gemar mengimpor bahan makanan dari luar negeri, dan sistem peternakan kita mulai meniru sistem peternakan pabrik mereka demi laba efektivitas dan efisiensi.

Sekaleng tuna yang ada di kulkas kita mungkin telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies hewan laut lainnya. Sepotong steak yang dinikmati di foodcourt (terutama yang daging impor!) bisa jadi hasil dari peternakan pabrik di mana sapi berjejalan sejak masih bayi tanpa mengetahui seperti apa sungai tampak berliku, sawah hijau membentang, bagai permadani di kaki langit.... #eh kok malah nyanyi

Ayam, kalkun, babi dan sapi di peternakan pabrik telah mengalami rekayasa genetika, demi penyesuaian dengan permintaan pasar. Diberi hormon pertumbuhan agar cepat besar dan dapat dikonsumsi dalam waktu singkat. Dikasih suntikan antibiotik karena rentan penyakit. Dan rekayasa lainnya, misalnya untuk memperoleh telur lebih cepat dan banyak atau daging tanpa lemak... Akibatnya hewan ternak tidak bisa hidup di luar peternakan pabrik tempat mereka hidup sejak bayi sampai dibawa ke pejagalan. Dengan lingkungan hidup yang dikondisikan, mereka telah kehilangan kemampuan beradaptasi dengan alam, dan kehilangan kekebalan terhadap penyakit...

Memperhatikan anak-anak zaman sekarang yang tumbuh lebih cepat dan besar padahal orang tuanya yang tidak memiliki gen tubuh besar, bisa saja bukan cuma karena gizi yang lebih baik, tapi karena makanan sehari-hari yang mengandung hormon pertumbuhan. Belum lagi mudah alergi dan terserang penyakit aneh-aneh, yang cenderung kebal terhadap antibiotik... Apapun rekayasa genetika yang dilakukan terhadap hewan-hewan komsumsi, secara tidak langsung merekayasa gen manusia juga.

Bayangkan bila ada makhluk hidup dengan intelegensi lebih tinggi dari manusia, yang memandang manusia tak lebih dari bahan makanan. Mungkin mereka akan memperlakukan kita seperti apa yang kita lakukan terhadap hewan-hewan yang kita konsumsi. Manusia dibeda-bedakan berdasarkan rasnya, mana yang lebih enak, lebih bergizi, atau lebih banyak dagingnya. Lalu ras yang dagingnya sedikit dan rasanya tidak enak dimusnahkan, sedangkan sisanya dikembangbiakkan. Supaya efisien dan ekonomis, manusia dikumpulkan dalam suatu bangunan, diberi hormon pertumbuhan supaya dapat cepat dipanen dan diberi antibiotik ini itu supaya bisa hidup dalam lingkungan sumpek yang rentan penyakit. Akibat kurang gerak, otot jadi lemah dan tulang jadi keropos, tapi mungkin jadi cocok untuk hidangan “manusia tulang lunak”. Supaya tidak stres, mungkin manusia bisa diberi ilusi dengan teknologi virtual-reality seolah masih hidup bebas di luar sana *matrix abis.com* Lalu bila tiba saatnya, manusia dikumpulkan dalam kontainer dan dikirim ke bangunan lain, di mana mesin-mesin bekerja untuk memisahkan kepala dari badan, menguras darah, mengeluarkan isi perut, memilah-milah daging paha atau dada... #lho, kok jadi horor...

Bisa membayangkannya? Itulah yang dialami hewan-hewan konsumsi di peternakan pabrik. Seumur hidup menderita (kecuali kita bisa memberi ilusi bahwa mereka hidup bebas di alam), lantas mati dengan tidak manusiawi. Seandainya mereka bisa bicara...

Video Meat Your Meat yang memperlihatkan perlakuan terhadap hewan ternak pabrik bisa diintip di sini:

http://video.google.com/videoplay?docid=...

Tapi meskipun sudah baca buku-buku Eric Sclosser, Michael Pollan, dan buku ini... bukan berarti aku jadi mendadak vegetarian atau vegan sekalian, meski memang lebih suka makan sayuran...


View all my reviews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar